Sekarang ini sedang ramai
dibicarakan tentang salah satu kawasan yang memiliki nilai sejarah yang kuat,
apa itu? Yap, Kawasan Hotel Indonesia. Sebelum tahun 2004, kondisi HI yang
dikelola oleh PT Hotel Indonesia Natour sebagai BUMN sangatlah lesu dan kurang
bisa bersaing dengan hotel lainya bahkan pendapat Hotel Indonesia tidak
menyampai 2 milyar pertahunnya. Pada kawasan super strategis itu tidak lah
heran, tanah-tanah kosong milik HI sangat menjadi incaran Investor untuk
memulai bisnis-bisnis cantik yang menghasilkan keuntungan.
Kesempatan itu pun turut
dilihat oleh PT HIN dan perjanjian Build Operate Transfer atau BOT dijadikan
solusi kala itu. Apa itu perjanjian BOT? Pada dasarnya, Investor bisa membangun
bangunan di tanah milik negara dan melakukan usaha di tempat tersebut. Lalu
diakhir kontrak seluruh aset dari invenstor tersebut diserahkan kepada negara
atau dalam kasus ini diserahkan kembali ke PT HIN.
Singkat cerita, PT Cipta
Karya Bumi Indah (CKBI) berhasil memenangankan tender BOT dan bersama PT Grand
Indonesia siap membangun kawasan hotel Indonesia. Tentu saja selama masa
kontrak PT CKBI dan GI tidak gratis menggunakan tanah tersebut, mereka harus
membayar kompensasi yang sesuai dengan keuntungan besar yang memang akan mereka
dapatkan. Kurang lebih kompensasinya sekitar 10 milyar pertahun.
Masih kurang kompensasinya?
Masih ternyata. Pada tahun 2010, munculah opsi perpanjangan kontrak BOT yang
datang langsung dari pihak PT HIN. Tadinya kontrak tersebut akan berakhir pada
tahun 2035 dan diperpanjang hingga tahun 2055. Bagi PT GI tentu senang, tapi
diinformasikan bahwa itu tidak gratis. Kompensasi yang dibayar pada saat itu
adalah 400 milyar! Angka ini dihitung dari 25% x Rp1,54 Triliun (nilai NJOP
yang berlaku pada saat opsi perpanjangan itu disepakati yaitu tahun 2010).
Lalu masalahnya dimana?
Masalah muncul kembali tahun 2016 ini. BPK mengeluarkan audit keuangan yang
menyatakan bahwa PT GI dianggap merugikan negara 1.26 triliun karena BPK
menghitung 25% dikali nilai NJOP tahun 2014 dimana itu adalah 4 tahun setelah
perpanjangan kontrak. Bagaimana nilai NJOP 2014 bisa diperkirakan di 2010
sedangkan nilai NJOP sangan fluktiatif.
Belum selesai. PT GI
masih terus diserang oleh pihak HIN karena dianggap wanprestasi atau melanggar
kontrak dengan membangun Menara BCA dan apartemen Kempinski. Yang menarik
adalah itu baru diusut sekarang, sedangkan PT HIN sendiri sudah lama menjadikan
lantai 39 Menara BCA sebagai kantor.
Sudah jatuh tertimpa tangga
memang. Permasalahan belum selesai, Jaksa Agung sudah turun tangan dan
menganggap ini adalah kasus pidana. Dari seluruh permasalahan diatas bisa kita
lihat sama sekali tidak ada tindak pidana yang muncul karena semua itu adalah
permasalan kontrak yang seharusnya menjadi kasus perdata dimana ada 2
perusahaan yang membuat kontrak dan jika memang muncul permasalahan mengenai
kontrak itu bukan berarti itu berubah seenaknya menjadi pidana. Semoga kasus
ini bisa selesai dengan baik dan tidak menjadikan invenstor menjadi takut untuk
menanamkan modal di Indonesia.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar